Senin, 07 September 2009

Bedug Pendowo


Bedug Pendowo

Masjid itu berdiri megah di seberang alun-alun nan hijau. Agung seagung aktivitas didalamnya; beribadah. Ku tatap lama bangunan mulia itu. Ku ingin segera memasukinya, duduk di dalamnya, berdzikir di dalamnya… selonjor disana, he he capek nih. Perjalanan 2 jam nonstop dari Purwokerto memang cukup melelahkan. Terlebih lagi dalam kondisi puasa. Energy harus dibagi untuk konsentrasi jalan, tenaga mengendarai. Istri lah yang merasa paling capek padahal ia membonceng.
Ya, pengendara dan motor harus istirahat. Keduanya memiliki mesin yang bila terus digunakan akan lekas rusak. Ngademin mesin motor dengan berhenti dan ngademin hati dengan air wudhu. 15 menit menjelang sholat Ashar saya manfaatkan betul untuk tidur… eh bukan, tilawah donk sambil terkantuk-kantuk. Kalau dulu para shahabat menangis saat membaca Al-Qur an tapi kita malah mengantuk ketika membaca Adz-Dzikr. Mata memang membaca tapi hati tidak. Inilah yang membedakan kita dengan generasi terbaik dalam sejarah islam; hadirnya hati dalam ibadah. Lantunan ayat suci-Nya deras mengaliri sekujur tubuh yang letih bersandar lemah di pilar masjid. Adem…
Sore ini, 23 Agustus 2009, tepat pukul.15.20 kita sholat Ashar berjama’ah di Masjid Agung Daarul Muttaqin, masjidnya Kabupaten Purworejo. Menara Masjid Agung itu ada di halaman, terpisah dengan bangunan masjid. Kokoh menantang langit. Di serambi depan ada benda purbakala yang konon terbesar di dunia. Bedug itu bernama Pendowo. Bedug yang dibuat pada tahun ± 1762 Jawa/ 1824 Masehi ini memiliki ukuran panjang 292 cm, lingkar depan 600 cm, lingkar belakang 564 cm. ada 120 paku kayu yang menancap di bagian depan dan 98 di belakang. Diameter depan 194 cm dan 180 diameter belakang. Bedug itu terbuat dari bahan khusus yakni pohon jati yang bercabang lima atau disebut pendowo dari Dukuh Pendowo Desa Bragolan Purwodadi. Bedug ini hanya dibunyikan pada hari Jum’at dan hari besar saja sebagai tanda waktu sholat tiba. Jadi tidak dipukul setiap sholat fardhu. Puas berpose dengan bedug, menara dan masjid kita pun meluncur ke Magelang.
Bedug biasanya ditabuh untuk menandai tibanya waktu sholat sebelum adzan. Namun sebenarnya penanda waktu sholat yang afdhol sudah ada yakni adzan. Teringat sejarah emas saat para shahabat Muhajirin dan Anshr bergotong royong mendirikan Masjid pertama di Madinah An-Munawwarah. Setelah Masjid Quba berdiri -tentunya tidak sebagus sekarang- beberapa shahabat memikirkan cara untuk memberikan tanda waktu sholat sekaligus menyerukan ummat untuk sholat. Ada yang usul menggunakan lonceng tapi ditolak sebab menyerupai kaum Nashrani. Akhirnya salah seorang usul memakai suara manusia. Rasul pun menyuruh Bilal untuk mengumandangkan seruan khas yang kemudian kita kenal dengan adzan.
Bedug memang bukan produk asli Islam. Ia merupakan warisan seni masyarakat Jawa yang sebelumnya menganut agama Hindu. Ini adalah akuturasi budaya. Terkait dengan penggunaan bedug. sebagian ulama mengharamkannya akan tetapi ada pula yang moderat dengan memanfaatkannya. Barangkali inilah fikih dakwah yang dipakai oleh para Wali Songo dulu yakni memanfaatkan budaya untuk mengenalkan islam. Tidak serta merta menghilangkan semua produk Jawa. Bahkan kita mungkin bisa mengklaim bedug adalah karya seni islami selama fungsi bedug hanya sebagai intro adzan bukan menggantikan adzan.

Purwokerto Kota Satria,
28 Agustus 2009