Sabtu, 08 Agustus 2009


Once upon a time in Mungkid

Sabtu pagi, 1 Agustus 2009, kami berempat meluncur menembus hawa dingin dari Banjarnegara ke Magelang. Saya membonceng istri, sementara Bapak dengan Ibu. Saya tahu isi hati istri. Sedih yang amat sangat. Sang bapak meninggal Jum’at malam. Sebelumnya kami berdua berencana langsung ke Magelang sore itu namun karena diprediksi kesulitan bus sehingga akan sampai rumah larut maka kita memutuskan transit dulu Banjarnegara lalu ke Magelang Sabtu pagi. Namun semuanya terlambat… istri tak dapat mendampingi bapak di detik-detik terakhirnya. Adalah hal yang menyakitkan bila tak bisa mentalqin beliau saat sakaratul maut. Derai air mata dan kesedihan mengucur deras saat istri bertemu dengan ibu, Nur Habib dan Huda. Kepedihan yang mendalam. Alhamdulillah, ketegaran itu tampak nyata dalam kalimat penuh iman ; innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bersyukur kami masih bisa menyolati beliau. Sebuah penghormatan yang mulia dari islam terhadap sang mayit. Almarhum baru dikebumikan ba’da dhuhur setelah acara nyadran. Seharusnya bisa didahulukan sebab jenazah sudah di rumah Jum’at malam. Ya, menguburkan mayat seharusnya bisa disegerakan. Ini anjuran para ulama.
3 hari ini akan ada tahlilan untuk mendoakan almarhum. Ada yang beda dalam menyikapi kematian warga. Di sana bahkan sangat mirip dengan acara kondangan nikah. Banyak sekali penta’ziah yang datang silih berganti. Ashabul mayit pun segera menjamu tetamu namun terkesan berlebihan. Di tempat saya, di Banjar dan mungkin di beberapa tempat lainnya jamuan untuk para pelayat hanya air putih dan permen. Tapi di sini ada makan juga, aneka jajanan juga tersedia. Satu hal yang sangat saya tentang adalah bila itu semua memberatkan keluarga. Sudah kehilangan anggota keluarga, harus mengeluarkan banyak biaya hanya untuk menjamu tamu. Beberapa ulama memakruhkan hal itu bahkan ada yang sampai mengharamkan. Allohummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’annhu.
Pagi ini segar sekali. Udara bersih memenuhi angkasa. Mentari muncul perlahan menyapa seisi bumi. Saya & istri jalan-jalan pelan, muter-muter kota Mungkid. Alun-alun kota tampak tidak begitu ramai. Maklum sudah pukul.06.30 WIB. Kita berjalan lurus melewati kebun tembakau bahan mentah rokok. Ya, Magelang juga dikenal senagai sntra tembakau. Pembicaraan soal manfaat & mudharat tembakau menjadi diskusi panjang yang sangat mengasyikan antara saya dan istri sepulang dari Mungkid. Kita berbelok ke pasar Borobudur. Oia, rumah istri deket, sekitar 3 km dengan candi Borobudur, satu dari 7 keajaiban dunia. Puas melahap nasi uduk di pertigaan pintu masuk candi. Kita mampir ke Masjid Agung An-Nuur, masjidnya Kabupaten Magelang.
“Saya ingin sholat dhuha” jawabku singkat

Tasbih, itu lah yang terucap saat menatap sang masjid. Jujur, lebih bagus daripada Masjid Agung Baitussalam Banyumas. Bangunannya berbentuk heksagonal sarang lebah yang tinggi dan kokoh. Menara indah berdiri megah di pojok utara siap mengumandangkan takbir. Akan tetapi pagi itu sepi sekali. Tak ada aktivitas pengajian misalnya. Atau para remaja masjidnya. Aneh padahal ada papan namanya. Eman-eman…Persis pukul 16.30 WIB kita meninggalkan Mungkid, dengan berat hati. Seharusnya masih harus bermalam 2 malam lagi namun Senin kita berdua harus kembali kerja. Bekerja juga untuk keluarga, jadi sama saja. Alhamdulillah, pukul. 18. 30 WIB sampai di Banjarnegara dengan aman dan lancar. Kita bisa berdoa di mana saja, pasti sampai dan insya Alloh makbul.

Tidak ada komentar: