Minggu, 21 Juni 2009



BOROBUDUR TEMPLEIni untuk kesekian kalinya saya ke candi Borobudur, satu dari tujuh keajaiban dunia. Seingat saya terakhir saya ke sini saat masih balita sekitar tahun 85an. Foto saat saya sedang main-main di pelataran candi masih ada. Waktu itu saya sedang lucu-lucunya, sedang nakal-nakalnya. Golden Time, kata Bunda Septi, seorang Ibu Rumah Tangga Profesional sekaligus Direktur Jarimatika Pusat.
Acara tour ke Borobudur sebenarnya bukan agenda utama saya dan keluarga. Tapi karena deket jadi eman-eman nek ngga mampir. Pagi itu, Ahad 7 Juni 2009 kami ke Magelang untuk satu agenda penting yang menentukan masa depan ciee… Ya, hari itu saya mengkhitbah seorang akhwat. Bincang-bincang persiapan hari-H selesai meskipun masih perlu pematangan lagi.

Kembali ke candi terbesar Dinasti Syailendra. Banyak sekali perubahan di sana. Kami bertujuh janjian dengan seorang temen klub vespa Bapak. Pak.Dalang, begitu temen-temen biker memanggil pria berkumis lebat ini. Penyuka vespa antik ini adalah seorang security atau satpam di kawasan wisata Borobudur. Alhamdulilah, kita semua bisa masuk gratis. Padahal tarif normalnya Rp.15.000 per orang. Lumayan. Enak juga punya banyak temen. Seribu teman masih kurang tapi satu musuh terlalu banyak, begitu peribahasa berkata.
“Dia juga seorang dalang juga, jadi kalau malam Minggu atau liburan atau hari-hari tertentu, saat ada permintaan dia ndalang di sini” jelas Bapak sambil menyusuri jalur menuju candi.
Ramai sekali hari itu. Ratusan bahkan ribuan wisatawan datang untuk menikmati keindahan, kemegahan dan keajaiban candi. Beberapa bis pariwisata terlihat parkir rapi di halaman candi. Oh rupanya ada yang sudah liburan.Sesekali ku lihat wisatawan mancanegara sedang mengabadikan bangunan batu raksasa. Kita pun segera menaiki tangga demi tangga ke puncak Borobudur. Padat sekali sampai macet. Jalan naik seharusnya tidak dipakai untuk turun. Pemandu wisata berteriak serak menjelaskan bahwa jalan turun ada di samping. Tapi semuanya berebut. Semuanya ingin sampai di puncak dan menikmati keindahan alam dari sana. Subhanallah..Allohu Akbar.

Kita pun tak melewatkan moment langka ini untuk berfoto bersama. Narsis sih tapi memang seperti itu. Yang penting tidak over. Biasa saja. Sebagian besar wisatawan berpose dengan stupa tertinggi dan terbesar. Sebagian lagi cukup puas dengan stupa-stupa kecil yang mengelilingi candi.
Seketika teringat satu judul bab dari tulisannya Sayyid Quthb dalam buku’Beberapa studi tentang Islam’ berjudul ’Sang Penghancur Berhala’, aku pun ambil pose siap meninju sebuah arca singa di pintu salah satu gapura dalam candi.
Sempat kulihat beberapa arca yang cacat. Rupanya masih ada orang yang berani memenggal kepala arca dan menjualnya ke para kolektor atau ke luar negeri. Harganya bisa sangat mahal. Saya kira hukumannya sedikit dibawah para pembalak liar, perusak hutan Indonesia.
Turun dari candi, kita langsung diserbu pedagang yang tak kenal lelah (Lho kan pernah ketemu, kok ga kenal sih…) Sebagian lagi menggelar aneka gadangan di tepian jalan. Ada yang menjajakan baju, hiasan dinding, gantungan kunci hingga miniatur candi. Wah puas deh, jauh-jauh ga rugi, dapat akhwat, dapat wisatanya. Alhamdulillah, siap-siap waktu kita tak banyak, 20 hari bukan waktu yang lama. Bismillah. (tidak bersambung)

Tidak ada komentar: