Jumat, 03 April 2009

Tak ada ustadz saya pun lagi 2

Masih sore, 19 Maret 2009, ada kajian remaja di Masjid Agung Baitussalam Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. gara-gara ustadznya ga dateng, saya lah yang diminta menggantikan. Saya sampaikan materi ihyaaussunnah atau menghidupkan sunnah, ya bak menggenggam bara api kata Rasul Saw. Di sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya begini via kertas :

Kalau ada ikhwan yang cinta sama akhwat (katanya) lalu si ikhwan nadzar kalau tidak menikah sama akhwat itu, dia tidak akan menikah dengan akhwat lain. Dan dia benar-benar menjalankan nadzarnya dengan tidak menikah. Padahal menikah itu sunah Rasulullah, bagaimana hukumnya ?

Fulanah di Purwokerto

Assalamu’alaikum wr wb Mba’
Bernadzar boleh saja tapi yang realistis dan tidak mendzalimi diri sendiri, tidak pula merendahkan diri. Misal di jagad politik sekarang ini, kalau calegnya menang ia kan berjalan mundur dari Purwokerto ke gedung DPR. Ini nadzar yang tidak baik. Apa kata dunia ? orang gila !. Atau sekeluarga gundul pacul gembelengan nyunggi wakul gembelengan karena Bapaknya jadi anggota dewan. Ini juga tidak baik dan … memalukan.

Nadzar itu semacam janji yang harus ditunaikan bila keinginannya terpenuhi. Nadzar yang baik itu yang bisa meningkatkan kualitas diri sekaligus mendekatkan diri pada yang diatas, Alloh Swt maksudnya. Misal, jika lulus UANAS saya akan berpuasa Senin-Kamis selama dua bulan, atau saya kan sedekah setiap hari selama setahun, saya kan menabung untuk haik haji dsb. Jangan sampai kita terjebak dalam kegembiraan yang berlebihan (eforia) sehingga kita lupa berfikir sehat.

Menurut saya, nadzar si ikhwan itu kurang tepat. Emang akhwat cuma dia saja ? ikhtiar lagi donk. Cinta memang bisa menutupi mata hati dan menumpulkan akal sehat kita. Itulah cinta buta. Jadi perlu dikoreksi perasaan dia ke akhwat itu cinta tau nafsu. Hayo ngaku… Karena cinta juga harus pake logika.

Sebaiknya jangan bernadzar seperti itu sebab justru itu menjadi bumerang kata suku Aborigin, atau blunder dalam istilah sepak bola. Kalau sudah telanjur…batalkan saja, insya Alloh itu lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Menghindari mudharat yang lebih besar lebih baik daripada mengambil manfaat yang kecil. Apalagi ini, nadzar tidak menikah dengan akhwat selain dia tidaklah ada manfaatnya, justru berdosa.

Dengan itu ia akan terhindar dari dosa yang lebih besar, berzina misalnya, atau stress, depresi lalu bunuh diri. Bunuh diri sih masih ‘mending’, kalau sampai bunuh orang… Na’udzubillah min dzalik. Sampaikan pada si ikhwan itu untuk segera istighfar dan bertaubat.

Maka bernadzarlah yang baik, yang realistis, yang kita bisa melakukannya, gunakan akal sehat kita sebab jika tidak terlaksana konsekuensinya cukup berat. Pikirkan baik-baik, putuskan dengan matang.

Apa yang terjadi hadapi saja dengan senyuman. Alloh Swt pasti punya skenario lain yang pasti lebih baik untuk dia dan si ikhwan. Husnudzan billaah, positif thinking pada Alloh Swt. Mungkin memang si ikhwan tidak cocok bagi si akhwat -atau sebaliknya- yang akan berdampak tidak baik di masa depan setelah menikah. Inilah cara Alloh Swt menyayangi hamba-Nya. Kata Anis Matta, Lc dalam buku ‘Sebelum Anda Mengambil Keputusan Besar Itu’, Alloh Swt akan memilihkan jodoh yang tepat bagi kita bukan yang terbaik bagi kita. Sepakat ?

Si ikhwan harus tetap menikah sebab ini sunah yang paling indah. Bagi seorang muslim yang berkomitmen, sunah itu mendekati perintah. Falaysa minni, kata Rasul Saw, bukan ummatku kata beliau, bagi ikhwan atau akhwat yang tidak menikah. Lupakan dia, lupakan. Yakinlah Alloh Swt pasti menyediakan akhwat lain yang pasti lebih baik dan lebih tepat bagi si ikhwan. Allohu A’lam.

Tidak ada komentar: