Senin, 29 Maret 2010

Solusi dilematika rokok



Rokok kembali menjadi berita aktual setelah PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa pengharaman rokok beberapa waktu yang lalu. Sementara itu PB Nahdhatul Ulama [NU] tetap mempertahankan fatwanya yakni rokok itu makruh dengan berbagai pertimbangan.
Terlepas dari perbedaan pendapat dua ormas islam terbesar tersebut, untuk mengatasi persoalan rokok memang membutuhkan kajian mendalam dan menyeluruh sebab ini berkaitan dengan kehidupan ribuan buruh dan pedagang yang menggantungkan hidupnya dari penjualan rokok. Pendek kata, menyangkut nyawa manusia. Maka solusi yang akan ada haruslah menyelesaikan masalah bukan menimbulkan masalah baru yang lebih banyak mudharatnya. Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah harus win-win solution.
Ide menutup pabrik rokok pun perlu dipertimbangkan masak-masak sebelum ada alternatif pekerjaan baru bagi ribuan buruh pabrik rokok. Artinya, ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja baru yang menjanjikan dan menjamin kelangsungan hidup mereka. Mungkin pembukaan lapangan kerja indutri non rokok perlu ditumbuh kembangkan. Bagi pemerintah ini adalah tantangan yang beresiko tinggi sebab menutup pabrik rokok berarti mengurangi pendapatan negara dari bea cukai rokok yang konon sangat besar.
Selain itu, peran tokoh agama dan masyarakat pun sangat diperlukan dalam upaya membangun kesadaran bahwa merokok itu perbuatan yang tidak baik, merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Kampanye –kampanye anti rokok juga perlu disebarluaskan. Gerakan hidup sehat dengan menjauhi rokok juga terus digiatkan. Kesadaran berhenti merokok memang berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan akan bahaya rokok itu sendiri. Jika hari ini masih banyak konsumen rokok berarti tingkat pengetahuan akan bahaya rokok masih rendah.
Penetapan final hukum rokok bisa meniru cara Islam memutuskan hukum khamr (minuman keras) di zaman Rasulullah Saw dulu yakni bertahap. Diawali dengan penjelasan bahwa rokok itu ada manfaatnya dan ada bahayanya. Statusnya mubah atau boleh. Kedua, bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Selanjutnya status hukumnya berubah menjadi makruh, artinya sangat dianjurkan untuk tidak dilakukan Terakhir, rokok itu haram karena merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain, termasuk perbuatan dosa dan kedzaliman.
Purwokerto, 15 Maret 2010


Bhayu Subrata
www.bayubarata.blogspot.com

Tidak ada komentar: