Sabtu, 18 Oktober 2008

banjir !

banjir !

BanjirisasiAyyubHari-hari ini Ibukota NKRI tengah mendapat musibah. Sebagian mengatakan itu ujian, sebagian lagi nyletuk ini adzab. Ya, musibah banjir kembali melanda kota metropolitan. Musibah ini bagi sebagian besar warga Jakarta sebenranya bukan hal yang asing. Artinya hampir tiap musim hujan pasti ada sungai yang kelebihan isi dan meluap ke rumah warga. Sudah langganan. Dan setiap ada banjir tidak ada penanganan yang seurieus dari pemerintah pusat khususnya pemda setempat. Ya, itu tadi mungkin karena sudah sangat sering jadi dianggap biasa dan warga dianggap bisa mengatasi. Tapi banjir kali ini bukan sembarangan banjir, bukan banjir yang menggenangi satu kompleks perumahan saja, bukan cuma membasahi lutuk Pak RT melainkan menggenangi seluruh bagian kota Jakarta, mulai Jakbar hingga Jaktim, dari Jaksel sampai Jakut. Apalagi DKI Jakarta. Bahkan air sudah menyerang Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Setelah gempa menggoyang NAD, DIY, pantai selatan, longsor, dan kecelakaan transportasi, kini Ibukota mendapat ‘jatah’. Adil, katanya. Wajar lah sebab dari dulu setiap bencana pasti di luar Jawa, pasti diluar Jakarta. Dulu binaan saya pernah beropini bingung, mengapa harus Aceh, saya jawab Allhu A’lam, tapi kita dianjurkan memikirkan mengapa sampai gempa menggoncang. Dan kemarin, mengapa harus Jogja, DIY. Jawaban saya tidak jauh beda. Dan sekarang, mengapa harus Daerah Khusus Ibukota? Tanya kenapa? Jadi sekarang ketiga daerah istimewa (Aceh, DIY dan Jakarta) telah merasakan ketidakramahan alam tua ini.Musibah kali ini memang sangat istimewa, terbesar setelah banjir 2002 lalu. Tak kurang dari menjadi headline di media massa, media eletronik terutama tivi terus menayangkan perkembangan bencana ini tiap jam. Disela-sela guyuran hujan yang semakin deras, air pun turut mengalir memasuki rumah-rumah elit, sekolah, sawah, jalan, semua. Membasahi, menghanyutkan apa saja yang dilewati.

Saya tidak bisa membayangkan seperti apa kondisi rumah-rumah kardus di pinggiran kali Ciliwung. Di beberapa tempat ketinggian air bisa mencapai 4-5 meter. Satu, dua, tiga tanggul jebol sebab tidak kuasa menahan air yang terbendung dan dalam hitungan detik danau coklat terbentuk. Sebuah satuan massa yang sangat dahsyat. Hampir semua sungai besar memuntahkan air coklat kotor nan bersampah ke areal pemukiman, sekolah-sekolah, pasar. Hebatnya lagi, jutaan kubik air telah menenggelamkan jalanan mewah ibukota. Jalan-jalan tol berubah menjadi sungai-sungai baru. Para pemakai jalan tidak bisa berbuat apa-apa, mereka merangkak, sebagian besar terjebak kemacetan berjam-jam. Tidak itu saja, air pun mematikan pusat kendali komunikasi milik Telkom dan efeknya komunikasi sempat terganggu. Aliran listrik pun terpaksa harus dipadamkan demi keamanan. Praktis dua hari ini ibukota kita tercinta lumpuh total dan mati. Sampai hari ini, 4/2/07, tercatat ribuan pengungsi yang belum mendapat penanganan yang layak. Sebagian menginap di masjid, SD dengan apa adanya. Sebagian kecil masih bertahan di lantai dua rumahnya, namun itu tak berlangsung lama. Mereka pun harus dievakuasi. Prakiraan BMG tentang masih akan turunnya hujan dua, tiga hari kedepan semakin menambah hitam langit Djakarta. Ada fenomena menarik, ada yang memanfaatkan bencana ini untuk mengais rejeki. Ada aja tingkah orang Indonesia. Saya yakin mereka tidak mau dikatakan bernyanyi diatas penderitaan orang lain. Tapi itulah kenyataanya mereka menawarkan jasa pengangkutan, motor saja bisa apalagi warga. Tapi dengan imbalan antara Rp.10.000 hingga Rp.30. 000. Keuntungannya pun cukup menggiurkan di zaman edan ini.Seketika saya teringat rumah Pak.Dhe di Bekasi. Saya cek ke anaknya. Jawabnya seperti yang saya kira. Banjir. Saya tidak kaget karena sebelum ini pun daerah sekitar rumah Pak.Dhe selalu dibasahi air kotor, meski setinggi tumit, sekitar 10 cm. Tapi kekhawatiran semakin tingginya air hingga masuk rumah terus muncul. SMS kedua saya tidak dibalas. Bapak mencoba menelpon juga tidak bisa. Saya coba kontak ikhwah di Tangerang. Jawabnya agak menenangkan. Kampungnya tidak kena banjir, akan tetapi Irfan sedang tidak di rumah. Dia berada di posko Banjir PKS, begitu report-nya saat kutanya Kepanduan mendirikan posko tidak.

Saya bersyukur pada Alloh Swt, bila PKS segera membuat posko pengungsi. Info terakhir, kata Pak. Presiden, Ust. Tifatul Sembiring PKS telah menurunkan 5000 relawan korban banjir (Radar Bamyumas ,4/2/07). Tapi mana? Tidak kelihatan di tivi, tidak ada gambarnya di koran? Humasnya gimana sih? Saya sempat mengeluh. Langkah SBY yang langsung terjun ke TKP merupakan hal yang biasa namun akan menjadi luar biasa jika segera menyelesaikan kemelut rutin ini. SBY menolak kedatangannya di sana adalah politik citra. Saya setuju, sementara. Memang sudah kewajaran dan kewajiban jika rakyatnya terkena musibah, para pemimpinnya berusaha merasakan hal yang sama, basah-basahan, dan yang lebih penting lagi; solusi. Kalau ikut nginep di masjid dan SD, saya kira tidak mau. Ya, tugas mereka adalah menemukan solusi jitu dan kilat. SBY minta kerja sama dari semua pihak, pemda, masyarakat untuk mengatasi musibah langganan ini. Tampaknya SBY sangat konsisten pada mottonya 3 tahun lalu; Bersama Kita Bisa. Bisa po?Satu statemen menarik muncul dari dua insan mulia di rumah- saat itu saya lagi mudik. Ini juga menggejala di sebaigan besar masyarakat kita. Kata beliau, ini gara-gara presidennya Susilo Bambang Nyudhonyowo dan Wapresnya M. Yusuf Bethara Kalla. Sebuah ungkapan, pendapat spontan yang tidak boleh dibenarkan. ‘Nyudhonyowo’ berarti merenggut nyawa dan ‘Bethara’ adalah sosok jahat dalam mitologi Hindu.

Jadi banyaknya musibah selama ini, yang menelan banyak korban jiwa tak banyak berdosa disebabkan oleh adanya dua pemimpin yang telah mereka pilih sendiri pada pemilu 2004 kemarin. Saya kira bukan itu, nuwun sewu, siapapun presidennya saat ini pasti akan mengalami hal ini. Siapapun itu. Hatta rezim Soeharto berkuasa kembali!. Seandainya bukan SBY-JK pun saya yakin banjir besar di Jakarta akan tetap terjadi. Gempa DIY ada. Ini masalah takdir. Tapi takdir yang sangat dipengaruhi, diakibatkan oleh perbuatan manusia. Kita tahu semua, satu kebiasan buruk orang Indonesia yang masih abadi, khususnya warga Jakarta, wa bil khusus lagi yang tinggal dekat sungai. Buang sampah sembarangan. Buang sampah ke selokan, got, sungai menjadi hal yang biasa. Selain itu hilangnya areal hijau, daerah-daerah resapan air juga ikut andil. Berubahnya pohon-pohon besar, areal hutan menjadi perumahan juga menjadi salah satu penyebab. Jadi banjir kali ini, menurut saya adalah bukan semata-mata takdir, melainkan sebuah akumulasi, penggumpalan, pemusatan, klimaks, puncak, titik jenuh dari perbuatan jorok tersebut selama beberapa tahun terakhir. Ibarat uap-uap lautan yang perlahan tapi pasti terbang, menyatu dalam awan mendung menghitam, semakin besar dan berat, dan...hujan. Seperti bom waktu yang detik-detiknya mempercepat detak jantung.Kini –setelah menyelamatkan pengungsi- yang kita butuhkan adalah bertaubat, sadar, rekonservasi, reboisasi, penghijauan, memperbaiki tata ruang kota, menghilangkan rumah-rumah kardus di pinggir kali. Ingat, banjir adalah bencana laten yang bisa muncul kala musim hujan tiba. Matur nuwun. Wallahu a’lamPurwokerto,

4 Februari 2007. Seketika langit menghitam

Tidak ada komentar: