Sabtu, 18 Oktober 2008

Dakwah keluarga

Dakwah keluarga
Ayyub

Tadi malam saya bertemu dengan beberapa teman. Biasa lah kumpul-kumpul rutin. Satu temen yang kebetulan sudah berkeluarga dan mempunyai satu putri cantik bercerita tentang peran penting seorang suami terhadap keluarga, khususnya istri. Kita harus menghormati istri, menyayanginya, mengertii eh memahaminya dll. Dengan gayanya yang kocak membuat saya dan para bujang lapuk yang lain mesam-mesem. Jadi pengen...Reflek tangan saya bergerak dan mengalirlah tinta hitam dari ujung pena, kata dan kalimat terus bersambung dan jadilah tulisan ini. Selamat membaca.

Keluarga, siapa yang tidak menginginkannya. Selain untuk melestarikan manusia dan menyalurkan fitrah, sebagai seorang muslim, berkeluarga punya nilai plus, pluus and pluuus. Ibadah dan ittiba’ rasul. Bahkan baginda Muhammad saw sampai menyatakan bahwa yang tidak menunaikan sunnah ini maka ia bukan golonganku. Luar biasa ! Menikah, siapa yang tidak ingin bersanding dengan bidadari duniai. Siapa pun pasti mendambakan menikah dengan pujaan hatinya, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bagaimana proses kita menuju ke sana. Pada malam pertama ‘Ali mengatakan pada istrinya, Fathimah Az-Zahra bahwa ia pernah jatuh hati pada seseorang sebelum menikah. Sang istri langsung cemberut bin cemburu. Siapakah wanita beruntung itu, batinnya. ‘Ali menjawab genit "kamu". Merah muda lah wajah cantiknya. Jadi boleh dong seneng dulu... he he he.. Menikah bukan perkara yang harus dipersulit tapi mesti dipermudah. Kata Khalifah ‘Umar maharnya ga boleh memberatkan. Yang agak sulit adalah setelah ijab kabul. Menikah bukan sekedar mempertemukan dua insan yang saling mencinta melainkan juga mempertemukan dua keluarga suami dan istri.
Saya mengutip Ustadz muda Anis Matta, Lc dalam buku ‘Sebelum mengambil keputusan besar itu’ soal persiapan menikah, bahwa ada empat persiapan sebelum kita memutuskan menikah. Keempatnya adalah persiapan fisik meliputi kesehatan fisik secara umum seperti general check up, menderita penyakit berat, tidak terkena penyakit menular, dan kesehatan secara khusus....kesehatan reproduksi, yaa pasti tau lah, kemampuan menjalankan kewajiban suami, bahasa haditsnya ba’ats. Itu pihak laki-laki. Pihak perempuan juga sama, memeriksa kesehatan yang umum dan khusus. Silakan tafsirkan sendiri. Setiap kita dan mereka juga punya kewajiban untuk berolah raga, menjaga pola makan, istirahat cukup dll. Untuk yang pertama ini saya yakin 100 % siap, jadi no problemo.
Persiapan kedua adalah persiapan pemikiran, mau apa setelah kita menikah, mau dibawa kemana istri, anak kita nantinya. Persiapan ini lebih futuristic, visioner. Visi menikah kita apa, menjadi keluarga dakwah, keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahwah. Kita sudah punya design, blue print , cetak biru keluarga seperti apa yang akan kita rancang, yang nantinya kita sempurnakan bersama istri. Ingat menikah yang baik itu sekali dan selamanya.
Persiapan ketiga adalah ruhiyah. Innamal a’malu binniyat, apa niat kita meminang dia, jangan-jangan only her beauty, untuk apa kita mengucap ijab qabul. Menikah sebagai ibadah itulah yang utama. Sejauh mana kesiapan iman kita, akidah kita dalam menghadapi samudra berikut gelombang besarnya. Sekjend PKS ini mengatakan bahwa kita menjadikan islam sebagai solusi atas segala permasalahan keluarga yang nanti muncul, itu juga bagian dari i’dad ruhy seorang muslim. Saya katakan untuk yang satu ini sementara ini kita unggul diatas kertas. Ada yang bisa 7 juz sehari, shaum sunnah Senin-Kamis, hafalan juga bagus. Inilah yang perlu dijaga bahkan ditingkatkan, Ingat, separuh agama.
Yang terakhir adalah persiapan finansial atau keuangan. Inilah syarat yang bisa jadi menjadi kendala utama sebagian besar ikhwan, pria untuk menikah. Ada yang kurang PD ketika belum punya pekerjaan tetap, pekerjaan yang layak, yang sesuai dengan kompetensinya. Sebenarnya ini wajar terkait tanggung jawab utama sebagai pencari nafkah. Berapa banyak ikhwan yang sudah lulus, kalau itu menjadi syarat pertama untuk menikah –seperti saya, he he he-, dan yang sudah bekerja namun gaji, penghasilannya dirasakan masih kurang. Belum punya penghasilan yang cukup untuk membiayai keluarga. Padahal Alloh Swt sudah menjamin kebutuhan semua makhluknya termasuk manusia. Dulu saya pernah ditanya oleh seorang akh begini, apakah jika kita kita takut menikah bearti akidah kita dipertanyakan? Saya hanya diam, mikir. Bisa jadi iya, na’udzubillah min dzalik. Mungkin untuk point Al-Khaliq, Al-Aziz, Al-Ghaffar, Al-Maalik kita ‘lulus’ artinya kita menyakini sepenuhnya bahwa hanyalah Alloh Swt yang ada disana. Namun untuk Ar-Rozaq? Sederhananya kita meyakini bahwa Alloh Swt menjamin rizki semua makhluk-Nya dan hadits nabi juga banyak yang memotivasi kita betapa Alloh akan membuat kaya orang yang menikah. Diantara kita mungkin ada yang agak khawatir tidak bisa membahagiakan istri dengan penghasilan yang layak, memenuhi kebutuhan anak, membiayai semua keperluan rumah tangga. Di sisi lain memang kondisi orang tua dan masyarakat belum siap untuk hal ini. Maksudnya, parameter yang dipakai orang tua dan masyarakat adalah parameter melimpahnya materi sebagai modal awal menikah. Punya rumah, gaji besar, dll. Waduh saya jadi susah nulisnya. Intinya bagaimana meyakinkan ortu agar merestui kita untuk dia dengan keterbatasan yang kita miliki saat ini, hari ini. Bagaimana dia juga meyakinkan ortunya agar menerima kita dengan segala kekurangan dan kekurangsempurnaan. Ini dibahas setelah proses taaruf gol, betul ga? Soale sangat lumrah jika ortu masih mengatur siapa jodoh putrinya karena ini menyangkut masa depan buah hatinya. Tapi ini masih bisa dikomunikasikan tho Pak, Bu? Yang tidak kalah penting adalah kita bisa menyakinkan diri kita saat ini, hari ini dengan segala keterbatasan yang kita miliki kita bisa memberi guarantee, jaminan purtinya tidak akan terlunta-lunta, tidak akan susah banyak -sedikit iya, Alloh Swt lah yang akan membimbing kita, Alloh pasti memberi rizki pada kita jika kita berusaha bekerja. Slogan yang sering terungkap adalah tetap berpenghasilan bukan berpenghasilan tetap.

Akhirnya dakwah keluarga saya maknai sebagai dakwah kepada keluarga, baik keluarga saya maupun keluarga istri nanti. Dakwah keluarga juga saya maknai dakwah dengan keluarga. Dalam dua makna tadi menikah dan berkeluarga menjadi tidak semudah membalikkan telapak kaki. Bagaimana kita membangun keluarga yang islami, sakinah, mawaddah wa rahmah yang dengan itu kita bisa berdakwah kepada orang lain, kepada tetangga, kepada keluarga lain. Jadinya kedua makna tadi berurutan, satu mempengaruhi berikutnya. Ketika makna pertama tercapai insya alloh makna kedua akan mengikuti.

Menikah dalam perspektif dakwah menjadi penting apalagi dalam perspektif jama’ah, di buku ‘Di Jalan Dakwah Aku Menikah’, kata Ust. Cahyadi, atau di dalam aturan jama’ah aku menikah, kata saya. Menikah dan berkeluarga adalah satu tahap dalam maratibul ‘amal (urutan amal) setelah islahul nafs. Memang kunci pertama adalah saya, kita, sholeh dulu, Al-Qur an menegaskan baik untuk yang baik, laki-laki yang shalih mendapat wanita yang shalihah. Ya, jadi takwinul baitul muslim, membentuk keluarga muslim menjadi penting dan harus by design. Ya merancang keluarga adalah merancang masyarakat. Tahap seterusnya adalah irsyadul mujtamaa’ atau membimbing masyarakat dengan contoh nyata plus keteladanan sebuah keluarga islam. Saya tekankan lagi bahwa menikah lebih dari bersatunya dua jasad, namun lebih dari itu menyatunya dua potensi da’i. Yang dengan bersatunya dua potensi tadi dakwah menjadi lebih berdaya, lebih punya pengaruh. Untuk itu potensi yang bersatu juga harus sama, bahasa kerennya sekufu. Dengan sekufu maka ada kesamaan fikrah, kesamaan visi-misi dan strategi, serta kesamaan tujuan. Terserah Alloh Swt dengan siapa kita menikah, yang penting sekufu dan sesuai pilihan hati, ha ha ha.... Dengan sekufu tadi insya Alloh keluarga samara mudah tercapai dan proses mendakwahi dua keluarga, masyarakat akan mudah karena sudah sama persepsinya, sama paradigmanya. Suami akan terus berdakwah lewat pertemuan RT, Yasinan, dll. Sang istri ikut PKK, mengisi kajian dll. Insya Alloh dengan keluarga yang samara tadi kita lebih mudah dakwah bil haal. Amiin

Purwokerto, 1 Maret 2007

Tidak ada komentar: