Sabtu, 18 Oktober 2008

Kecil-kecil jadi masjid

Kecil-kecil jadi masjid

Ini kisah tentang sebuah musholla yang berdiri 25 meter ke selatan dari rumah ku. Musholla Al-Hudaa tidak terlalu kecil, ya cukup untuk menampung 100an orang. Dulu masyarakat menyebutnya langgar. Musholla ini sudah direhab beberapa kali. Saya menangi (mengalami-pen) musholla ini dengan dinding bambu dan papan. Penarangan yang temaram. Saya juga masih ingat pertama kali lantai tegel hitamnya diganti keramik putih. Di langgar ini juga saya belajar agama, belajar ngaji turutan. Metode baca Al-Qur an yang sekarang kayaknya sudah ga dipakai lagi, berganti dengan metode yang lebih mudah dan cepat seperti Iqro atau Qira’ati. Ya, musholla ini banyak mengisi hari-hari dimasa kecilku. Di musholla ini pula saya dikader, dilatih menjadi orang yang mampu berbicara di depan publik. Jujur, skill dasar itu baru saya rasakan dan sadari betul manfaatnya saat saya remaja.


Saya patut berterima kasih kepada Mas.Waluyo yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya. Jazakallah ahsanal jaza. Tenang, Mas meskipun kini Mas Waluyo sudah tidak mengajari saya dan temen-temen lagi, insya Alloh pahalanya terus mengucur deras ke kantong-kantong amal Mas Waluyo. Sebab ilmu yang bermanfaat adalah amal yang tidak akan terhenti mengucur sampai kapan pun, sebagaimana sabda Sang Nabi Saw. Hebat kan ? Sebuah penghargaan yang amat agung bagi para pemberi ilmu. Waktu itu saya dan temen-temen dilatih untuk menjadi MC kuliah subuh bulan Ramadhan. Keberanian itu perlahan muncul dan menjelma menjadi kebiasaan.


Kembali ke musholla Al-Hudaa. Kini musholla kecil itu menjadi masjid. Tidak ada perubahan dalam fisik, tidak nambah tinggi apalagi melebar atau memanjang. Ajeg. Cuma ganti papan nama saja. Secara nama memang tidak jauh berbeda. Musholla artinya tempat untuk sholat, sedangkan masjid berarti tempat untuk bersujud. Yang membedakan Cuma ukuran, musholla biasanya berukuran kecil dengan daya tampung 75 -100 orang. Sedangkan masjid berukuran besar dan megah dengan daya tampung sangat banyak. Perubahan dari musholla ke masjid memang mudah. Saya kurang faham apakah harus memberitahukan ke Depag atau kemana terkait data musholla dan masjid. Saya kira itu tetap penting.


Kini kurang lebih 3 tahun Masjid Al-Hudaa ada. Oke lah saya bisa memaklumi kalau tidak ada perubahan secara fisik, mungkin karena tidak ada lahan lagi, kanan-kiri rumah, depan dan belakang mentok. Tapi peningkatan kualitas jama’ah itu yang harus ada. Jangan sampai stauts masjid tapi jama’ah musholla. Kalau masih musholla sih ga papa, tapi ini masjid gitu loh. Kualitas jama’ah harus lebih baik donk. Sangat benar tulisan Eep Saefullah Fatah, seorang cendekiawan muda dulu. Beliau mengatakan bahwa membangun masjid itu mudah, yang sulit itu membangun jama’ahnya. Lihat saja, untuk masjid Al-Hudaa seharusnya memiliki dua atau tiga imam sehingga bisa bergantian, ada variasi gitu. Tidak selalu beliau terus, kultus individu tuh ! kasihan kan, memang beliau untung pahalanya numpuk. Tapi tidak sehat bagi jama’ah. Rasulullah Saw saja pernah bergantian mengimami. Untuk Masjid Al-Hudaa kan punya berapa tuh Pak.Haji, insya Alloh bacaannya baik, wong dah ke Mekkah. Digilir saja. Kalau ga mau, dipertanyakan tuh kehajiannya. Menjadi Pak.Haji itu menjadi pemimpin baik di masjid sebagai imam maupun di masyarakat. Itu pelajaran dari leadership Nabi Ibrahim a.s.Terus, pas Ramadhan kemarin saya heran, masa ga ada kuliah tarawih. Bagus sekali kalau ke depan ada pemberdayaan remaja. Jadi dirolling saja. Adik-adik TPA tetap menjadi MC kuliah subuh. Kultumnya ditiadakan tapi dialihkan ke kuliah tarawih. Ini penting bagi perkembangan jiwa anak. Sadari itu wahai para orang tua.


Kemudian, pembinaan pengamalan ibadah para jama’ah juga perlu ditingkatkan. Contoh, banyak jama’ah yang belum faham penting dan wajibnya shaf yang rapat dan lurus. Saya sebenarnya kurang sreg dengan karpet motif sajadah yang sekarang melantai disana. Itu membatasi. Ini shaf saya, kamu geser sana. Waduh ! Banyak yang asal berdiri lalu takbir, tidak melihat shaf kanan atau kirinya. Itung-itung, di shaf putra bisa muat 8-9 orang. Yang putri juga kurang lebih sama, 7-8 orang. Sekali lagi ini penting sebab shaf yang lurus dan rapat merupakan kesempurnaan sholat.Bahkan shaf yang renggang apalagi bolong menjadi jalan godaan syetan. Fahim tum? Imam berhak kok menunda sholat jika shaf belum rapat dan lurus. Imam juga harus tegas mengatur jama’ah, tidak cukup menoleh sambil berucap ‘Sawuu shufufakum…’ akan tetapi lihat kaki mereka, badan para jama’ah. Khalifah Umar Bin Khaththab pernah meluruskan shaf dengan pedangnya.

Tidak ada komentar: