Sabtu, 18 Oktober 2008

Masyarakat muslim, masyarakat terbaik

Masyarakat muslim, masyarakat terbaik
(sebuah blue print visi keummatan)

Bhayu ’ayyub’ Subrataa

Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia(QS. Ali-’Imran:110)

Masyarakat muslim, sebuah model
Dalam buku ini banyak kutipan tulisan ulama dunia Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Al-Ghazali, Sayyid Sabiq, Said Hawwa dan DR. Yusuf Al-Qaradhawi. Saya jadi ’curiga’ Muhammad Abdullah Al-Khatib adalah fans berat Al-Ikhwanul Al-Muslimin, sebuah pergerakan islam modern yang menjadi rujukan di lebih 70 negara. Buku ini layak disebut sebagai blue print atau cetak biru model masyarakat yang ingin dibentuk oleh islam. Siapapun yang ingin mengetahui gambaran, bentuk masyarakat islami, baca saja buku ini. Buku ini berisi 10 bab dan setiap bab-nya mewakili satu karakter penting dari masyarakat muslim itu sendiri.
Statement bahwa masyarakat islam adalah universal mengawali bab 1. Sebuah klaim yang lumrah sebagaimana kita pahami satu karakteristik agama ini; ’alamiyah (universalitas). Keuniversalan agama ini lebih valid ada di QS. As-Saba [34]: 28 dan QS. Al-Qalam [68] : 52. Maka karakteristrik masyakarat islam juga harus selaras dengan karakter islami itu sendiri.Begitu pula karakter,sifat individu muslim.
Namun merupakan masyarakat yang inklusif, terbuka untuk semua manusia, tanpa memandang ras, warna kulit, dan bahasa. Bahkan tanpa memandang agama dan keyakinan. (Hal. 14)

Islam for all itu lah slogan yang sering kita dengar. Masyarakat islam ada untuk semua manusia seperti yang pernah ada di zaman Rasulullah Saw yakni masyarakat madinah adalah suatu sistem kemasyarakatan yang bisa menerima dan diterima siapa pun, golongan, bangsa, suku, kaum, agama dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan Rasulullah Muhamamd Saw. Masyarakat madinah oleh kalangan Barat sering disebut civil society atau masyarakat heterogen yang berperadaban, modern. Aturan-aturan (syariat) islam berlaku total disana. Subhanallah... (opini pembedah)

Ini berkaitan erat dengan akidah. DR. Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan bahwa sesungguhnya asas pertama kali yang tegak diatasnya masyarakat Islam adalah aqidah, itulah aqidah Islam. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah, menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia.

Bab II dibuka dengan –lagi-lagi- tulisan Hasan Al-Banna dalam Risalatutta’lim. Bab ini banyak membeberkan peran akidah islamiyah dalam masyarakat. Akidah yang dipahami sebagai ’ikatan yang kuat’/sesuatu yang mengikat akan mempengaruhi secara positif pada diri individu. Diantaranya kisah perang Uhud, perang Mu’tah, pasukan Thalut. Tidak hanya pengaruh ruhiyah, melainkan juga pengaruh kemanusiaan, heroisme (kepahlawanan), mengikis fanatisme (ashobiyah). Peran akidah yang lebih kentara adalah akidah ini membentuk ummatan wahidah (ummat yang satu)
Akidah dan keimanan laksana dua sisi dalam sekeping mata uang dinar. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Akidah akan mempengaruhi positif terhadap individu, keluarga dan masyarakat dan diterapkan/ diamalkan dalam kehidupan dalam bentuk menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya
Akidah ini juga membuat kaum muslimin sebagai satu ummat dan sebuah keluarga yang bernaung di bawah panji islam. Yang dekat bersimpati kepada yang jauh, memperhatikan kondisinya, dan mendengarkan keluhannya, serta senantiasa menyertainya baik dalam suka maupun duka.(hal. 29)

Bab III berjudul masyarakat unggul. Bab ini menjabarkan keunggulan masyarakat islam diantara model yang lain, diantaranya, ia memiliki sistem yang bersumber dari Pencipta makhluk termasuk manusia, Pemelihara alam semesta, sistem yang sempurna, integral (ipoleksosbudhankamkum). Ia juga masyarakat yang memiliki solidaritas yang amat tinggi (ukhuwah islamiyah). Keunggulan masyarakat ini diulas pula di Bab IV dan V antara lain masyarakat yang berkeadilan dan bersaudara. Keadilan dalam masyarakat islam ada pada interaksi muslim dengan non muslim, keadilan juga ada dalam pelaksanaan pemerintahan islam. Tentang persaudaraan dijelaskan detail yakni hak-hak bersaudara, antara lain hak dalam harta, jiwa, dsb. Dengan dasar QS.Al-Hujurat : 13 yang menyebutkan bahwa semua sama, yang termulia adalah yang bertaqwa maka kisah epik ukhuwah di era sahabat pun dilampirkan sebagai bukti sejarah.
Keunggulan sistem ini sudah terbukti dan teruji di zaman Rasulullah Saw, khuala rasyidin dan para tabi’in. Dan akan kembali terbukti dan perlu diuji di masa mendatang. Saya menyebutnya sistemic society atau masyarakat yang tersistem, luar dalam. Sistem yang mengatur segalanya, mulai hal pribadi hingga publik. (opini pembedah)

Bab VI mengupas satu sunnah Nabi Saw yang paling asyik kita bicarakan, ya, menikah dan berkeluarga. Masyarakat keluarga muslim yang inheren, begitulah judul bab ini. Bagian ini menjelaskan urgensi/ pentingnya berkeluarga, urgensi keluarga dalam masyarakat muslim. Ada pula penjabaran tujuan berkeluarga. Tertarik ? pasti ! Bab VII bertuliskan masyarakat yang senantiasa terjaga dan bangkit. Isinya banyak dijelaskan tentang kewaspasdaan terhadap anak, istri, kepada dosa dll. Kembali kisah-kisah apik seputar kewaspadaan para shahabat dijelaskan.
Rasulullah Saw adalah perencana terbaik, pemimpin yang visioner. Contohnya strategi formasi pasukan pada perang Uhud > penempatan para sniper / pasukan pemanah. Pembangunan masjid juga didesain agar tidak hanya menjadi tempat ibadah saja. Strategi hijrah dll. (opini pembedah)
Masyarakat yang memahami urgensi perencanaan, menjadi judul bab berikutnya. Di bab VII ini banyak diulas aspek perencanaan. Dengan mengutip kisah nabi yang ganteng Yusuf a.s saat berhasil menakwilkan mimpi sang raja yang kemudian dirumuskan menjadi tahapan planning menjelang masa paceklik.

Masyarakat yang berjihad, menjadi judul bab IX yang membahas tuntas semua hal tentang jihad fii sabilillah. Mulai dari pengertian, derajat, tujuan hingga etika jihad. Lagi-lagi kisah mujahidin dan para syuhada menjadi penyemangat dalam bab ini karena para mujahidin pasti akan berjaya; menang itu berjaya, syahid juga.
Dalam konteks masyarakat muslim, berjihad adalah menjaga eksistensi/ keberadaan masyarakat dan mempertahankan kedaulatan masyarakat dan kehormatan agama. Menurut Sayyid Quthb dalam Petunjuk Jalan, berjihad itu tidak defensif (reaktif) akan tetapi offensif (proaktif) sehingga menyebarluaskan islam dan berdakwah juga termasuk berjihad. (opini pembedah)

Bab terakhir, bab X mencoba membredel kegagalan model masyarakat selain model islam seperti masyarakat komunis Uni Soviet yang runtuh dan terpecah menjadi negara-negara kecil. Ternyata hal itu juga menimpa ummat islam. Tahun 1924 khilafah Turki Utsmani hancur oleh rezim sekuler. Hal yang menyebabkan itu diulas disini, meskipun tidak banyak. Yang utama adalah meninggalkan Al-Qur an dan Sunnah. Akhirnya penulis menutup dengan 3 penopang terbentuknya masyarakat muslim, Pertama, Keadilan. Kedua, memelihara kemaslahatan. Ketiga, Musyawarah.

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama dengan M.A. Al-Khatib, terutama dalam hal akidah masyarakat islam. Yaitu :
Inilah aqidah yang tegak di atasnya masyarakat Islam. yaitu aqidah "Laa ilaaha illallah Muhammadan Rasuulullah." Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa masyarakat Islam benar-benar memuliakan dan menghargai aqidah itu dan berusaha untuk memperkuat aqidah tersebut di dalam akal maupun hati. Masyarakat itu juga mendidik generasi Islam untuk memiliki aqidah tersebut dan berusaha menghalau pemikiran-pemikiran yang tidak benar dan syubhat yang menyesatkan. Ia juga berupaya menampakkan (memperjelas) keutamaan-keutamaan aqidah dan pengaruhnya dalam kehidupan individu maupun sosial dengan (melalui) alat komunikasi yang berpengaruh dalam masyarakat, seperti masjid-masjid, sekolah-sekolah, surat-surat kabar, radio, televisi, sandiwara, bioskop dan seni dalam segala bidang, seperti puisi. prosa, kisah-kisah dan teater.
Bukanlah yang dimaksud membangun masyarakat Islam di atas dasar aqidah Islamiyah adalah dengan memaksa orang-orang non Muslim untuk meninggalkan aqidah mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya masyarakat Islam pada masa-masa keemasannya adalah masyarakat yang paling toleran terhadap para penentangnya dalam aqidah. Fakta ini diperkuat oleh banyak pernyataan kesaksian orang-orang di luar islam sendiri.

Maksud dari tegaknya masyarakat, di atas aqidah Islam adalah bahwa masyarakat Islam itu bukanlah masyarakat yang terlepas dari segala ikatan, tetapi masyarakat yang komitmen dengan aqidah Islam. bukan masyarakat penyembah berhala, dan bukan masyarakat Yahudi atau Nasrani, bukan pula masyarakat liberal atau masyarakat Sosialis Marxisme, tetapi ia adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah tauhid atau aqidah Islam, di mana aqidah Islam itu selalu tinggi dan tidak ada yang menandingi. Islam tidak menerima jika kalian berada di masyarakat sementara kalian tidak berperan apa pun, dan tidak rela mengganti aqidah yang lain dengan aqidah Islamnya, sehingga bisa meluruskan pandangan manusia terhadap Allah, manusia, alam semesta dan kehidupan
Lebih jauh ulama dunia asal Qatar ini menjelaskan bahwa pilar yang kedua sebagai asas tegaknya masyarakat Islam setelah aqidah adalah berbagai syiar atau peribadatan yang telah diwajibkan oleh Allah bagi kaum Muslim in. Dan Allah telah membebankan kepada mereka untuk melaksanakannya sebagai media untuk bertaqarrub kepada-Nya. Dan sebagai realisasi dari hakekat keimanan mereka dan keyakinan mereka untuk bertemu dan memperoleh hisab-Nya. Hal tersebut adalah shalat, zakat, puasa dan haji. Kemudian beliau menambahkan amar ma’ruf nahi munkar.

Terkait dengan masyarakat yang ungggul, artinya ia mempunyai kelebihan dengan model yang lain, murid Hasan Al-Banna ini menjelaskan lagi bahwa sebagaimana masyarakat Islam itu berbeda (memiliki ciri khas) dengan aqidah dan ibadahnya, ia juga memiliki keistimewaan dengan pemikiran (fikrah) dan sistem nilainya. Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai dan hubungan. Masyarakat Islam menentukan ini semuanya dari sudut pandang Islam, mereka tidak mengambil hukum kecuali dari sumber referensi Islam yang bersih dan jernih dari kotoran-kotoran dan penambahan-penambahan, sebagai akibat dari rusaknya zaman. Sumber yang bersih itulah yang mampu menangkal pemikiran yang ekstrim dan pemikiran yang cenderung kendor, penyimpangan orang-orang yang membuat kebatilan dan penakwilan orang-orang yang bodoh.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang diliputi oleh perasaan dendam (dengki), karena perasaan itu muncul mungkin akibat kezhaliman sosial dan perlakuan buruk sebagian orang terhadap sebagian yang lainnya, cara seperti ini tidak diakui oleh Islam tentang keberadaannya dalam masyarakatnya, atau mungkin akibat dari faktor luar yang berusaha membagi masyarakat menjadi beberapa tingkatan, dan menyulut api pertarungan antar kelompok, buruh dan petani adalah dimanja secara zhahir, meskipun sebenamya mereka itu hanya alat yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan syetan yang jahat. Adapun kelompok yang lainnya seperti para pedagang, cendekiawan, mahasiswa dan para karyawan yang beraneka ragam, mereka adalah kelompok Borjuisme yang dilaknat (dibenci) dan yang hidup dalam tingkatan yang kedua, jika masih diperbolehkan untuk tetap ada. Ini semua tidak diakui oleh Islam, karena Islam menanamkan bahwa hasud dan permusuhan sebagai penyakit ummat,

Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang lebih mengutamakan fanatisme nasionalis atau kebangsaan atas persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), sehingga seorang Muslim mengatakan, "Tanah airku sebelum agamaku," atau seorang Muslim Arab berkata, "Ke-Arab-anku sebelum Islamku," atau seorang Muslim India atau Persi, Nigeria, atau Somalia berkata, "Kebangsaanku sebelum aqidahku
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang memusuhi kaum Muslimin dan mencintai musuh-musuh Islam, atau menyamakan antara kaum Muslimin dengan orang-orang musyrik atau orang-orang kafir dalam mu'amalah (pergaulan), perasaan wala' (cinta) terhadap Islam dan ummatnya itulah yang mengarahkan masyarakat Islam, demikian juga perasaan benci terhadap musuh-musuh Islam yang membuat tipu daya terhadap pengikutnya dan yang menghambat dari jalannya sehingga dapat memperkokoh tali iman cinta karena Allah, benci karena Allah, mencintai karena Allah dan memusuhi karena Allah.

Di dalam masyarakat Islam secara internasional bahwa setiap Muslim itu saudara bagi Muslim yang lainnya (minimal secara konsepsi) apa pun bahasanya, asalnya, keturunannya, setanah air, satu bahasa dan satu keturunan, tetapi tidak memiliki aqidah yang sama, sampai seorang Muslim itu menolak hubungan dengan para pendahulu nenek moyangnya pada masa-masa jahiliyah, karena la tidak merasa bahwa antara dir~nya dengan mereka itu ada ikatan dan identitas aqidah atau hubungan rohani. Dengan demikian maka ketika kaum Muslimin tidak atau kurang memperhatikan ilmu sejarah kuno atau peninggalan-peninggalan masa lalu itu bukan berarti bahwa kaum Muslimin itu bodoh atau tidak mampu memahami pentingnya ilmu ini, tidak, bahkan sebaliknya mereka adalah kaum yang memiliki peradaban yang tinggi, dan memliki perasaan yang kuat dan luar biasa terhadap sejarah dan kedudukan mereka dalam sejarah itu. Hanya karena sejarah kaum Muslimin itu dimulai sejak munculnya Islam, orang-orang salaf mereka yang shalih, mereka itulah permulaan kaum Muslimin, di sisi kiblat Islam, di jantung jazirah Arab. Sementara orang-orang Mesir dahulu yang musyrik, orang-orang Babilonia dan juga selain mereka dari ummat masa lalu, mereka adalah asing dan dianggap jauh dengan mereka, meskipun mempunyai hubungan darah dan tanah.". Lebih lengkap baca saja e-book beliau yang berjudul Sistem masyarakat islam dalam Al-Qur an dan As-Sunnah atau baca bukunya ‘Anatomi Masyarakat Muslim’. Walhamdulillah, wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: